Puasa Pada Hari Yang Diragukan
RU’-YATUL HILAL DAN PENETAPAN HARI PUASA DAN HARI RAYA
Pembahasan 2
PUASA PADA HARI YANG DIRAGUKAN
Hari yang diragukan adalah malam tiga puluh Sya’ban, jika padanya tidak terlihat hilal karena adanya awan, gerimis atau karena yang lainnya. Para ulama telah berbeda pendapat mengenai puasa pada hari ini. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, pendapat Jumhur Ulama, yaitu pendapat yang tidak membolehkan puasa pada hari itu dan keharusan untuk tidak berpuasa.
Kedua, satu riwayat milik para penganut madzhab Hanbali, di mana mereka memiliki pendapat yang mewajibkan puasa pada hari tersebut. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوْا لَهُ.”
“Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal (bulan Ramadhan) dan jangan pula kalian berbuka hingga kalian melihatnya. Jika awan menyelimuti kalian, maka perkirakanlah untuknya.”[1]
Para ulama masih berbeda pendapat mengenai kalimat “Faqdiruu lahu,” dimana Jumhur mengatakan, “Lihatlah perhitungan bulan dari awalnya, lalu sempurnakanlah hitungan Sya’ban menjadi 30 hari.” Sedangkan para pengikut madzhab Hanbali mengatakan, “Faqdiruu lahu berarti persempitlah perhitungan hisab dan jadikanlah ia (bulan Sya’ban) 29 hari.”
Pendapat yang benar adalah kewajiban untuk tidak berpuasa pada tanggal 30 Sya’ban saat langit berawan atau gerimis, karena adanya beberapa riwayat:
“فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ.”
“Maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [2]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “…Jika pada malam ketiga puluh itu pandangan mata dihalangi oleh awan, maka hitungan bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari, kemudian (pada keesokan harinya) mulailah berpuasa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa pada hari berawan (pada tanggal 30 Sya’ban-ed.), dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk itu, tetapi yang beliau perintahkan adalah menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari, jika berawan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan hal tersebut. Itulah yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan dan yang menjadi perintahnya.”[3]
Di dalam kitab Haasyiyah ar-Raudhil Murabbi’, Ibnu Qasim mengatakan, “…Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mewajibkan untuk berpuasa pada hari itu sebelum ru’-yatul hilal atau penyempurnaan bulan Sya’ban menjadi 30 hari…” Hal ini sesuai dengan pendapat tiga orang Imam…
Dan itulah yang ditunjukkan oleh hadits-hadits shahih yang mutawatir dan menjadi pilihan Imam dakwah ini. Dan orang yang mengambil darinya serta melarang berpuasa pada hari itu didasar-kan pada beberapa alasan, di antaranya:
Pertama, bahwa malam itu termasuk bagian dari bulan Sya’ban berdasarkan hitungan pokok dan bukan termasuk bulan Ramadhan, kecuali dengan keyakinan.
Kedua, adanya larangan yang benar lagi jelas dalam hal mendahului Ramadhan dengan puasa.
Ketiga, adanya hadits-hadits shahih lagi sharih (jelas) yang melarang berpuasa pada hari tersebut.”[4]
Imam ash-Shan’ani mengatakan, “…Ketahuilah bahwa hari yang meragukan adalah tanggal 30 dari bulan Sya’ban jika hilal tidak terlihat pada malam harinya yang diselimuti awan atau tertutup sesuatu atau yang semisalnya, sehingga bisa jadi ia termasuk bagian dari Ramadhan dan bisa juga termasuk bagian dari bulan Sya’ban. Berdasarkan hadits yang ada serta makna yang terkandung di dalamnya menunjukkan pengharaman puasa pada hari itu. Berkaitan dengan pendapat tersebutlah Imam asy-Syafi’i berpendapat. Para Sahabat berbeda pendapat mengenai hal tersebut, di antara mereka ada yang membolehkan puasa pada hari itu dan ada juga yang melarangnya serta mengkategorikannya sebagai kedurhakaan terhadap Abul Qasim (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dengan demikian, dalil-dalil tersebut mendukung pendapat para ulama yang mengharamkan puasa pada hari itu…”[5]
[Disalin dari buku “Meraih Puasa Sempurna”, Diterjemahkan dari kitab “Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab”, karya Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir].
______
Footnote
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122))
[2] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122)) Lafazh ini milik Muslim.-red.
[3] Zaadul Ma’aad (I/326).
[4] Haasyiyah ar-Raudhil Murabbi’, Ibnu Qasim (III/350).
[5] Subulus Salaam (II/216-217).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/15862-puasa-pada-hari-yang-diragukan.html